Profesi Terkeren Wanita Jepang: Kyoiku Mama dan Ryosai Kentro
Yang dimaksud dengan istilah Kyoiku Mama (Ibu pendidik) yaitu di mana seorang ibu tidak akan pernah berhenti mendorong anak-anaknya untuk belajar sekaligus menciptakan keseimbangan pendidikan yang baik dalam hal fisik, emosional, maupun sosial. Istilah Ryosai Kentro (istri yang baik dan ibu yang arif) menggambarkan suatu kebijakan yang memposisikan kaum wanita sebagai ‘penguasa rumah’, yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di rumah. Dari mulai pekerjaan- pekerjaan rumah tangga, masalah keuangan, dan pendidikan anak. Intinya menyerukan bahwa peran terhormat wanita adalah sebagai istri yang baik dan bijaksana, pembagian peran alami sesuai fitrah antara perempuan dan laki laki. Peran perempuan sebagai menteri dalam negeri dan motivator domestik rumah tangganya, sedangkan peran lelaki jadi menetri luar negeri keluarganya sebagai motivator logistik dan publik.
Kaum Ibu di Jepang justru merasa bahagia, tersanjung dan dimuliakan dengan jabatan dan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Bahkan mereka tak segan-segan mengundurkan diri dari karir mereka demi mengasuh dan mendidik sendiri anak-anak mereka di rumah. Rilis Kementerian Kesehatan-Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang tanggal 17 Maret 2004 mengungkapkan bahwa 61% Ibu muda Jepang meninggalkan pekerjaannya diluar rumah setelah melahirkan anak pertama. Hal ini mungkin juga karena pandangan tentang peran ganda perempuan –yaitu sebagai ibu sekaligus wanita pekerja– dianggap sebagai chuto hanpa alias peran tanggung, tidak populer di Jepang. Menjadi ibu rumah tangga dianggap sama profesionalnya dengan wanita pekerja Jepang. Jadi wajar pemerintahan Jepang sangat memberi tempat terhormat pada peranan ibu rumah tangga yang berkualitas, karena kemajuan bangsanya kelak pun tetap di topang oleh kualitas ibu-ibu rumah tangganya sebagai pembentuk kualitas karakter anak-anak mereka.
Motivasi utama para wanita Jepang yang memilih karirnya sebagai ibu rumah tangga profesional maupun sebagai ibu pendidikan adalah untuk meletakkan dasar pendidikan berperilaku sejak dini kepada anak-anaknya, terutama di masa-masa emas, yaitu pada usia tiga tahun pertama masa perkembangan pesat otak seorang anak.
Seorang pengamat Jepang, Reingold, mendefinisikan Kyoiku Mama sebagai berikut “She becomes directly involved in and identified with the child’s succes or failure“. Dapat diterjemahkan secara bebas: “Para ibu pendidikan itu secara langsung terlibat dalam kesuksesan atau kegagalan anak-anaknya. Dan mereka juga dinilai berdasarkan kesuksesan atau kegagalan mereka”. Ibu-ibu pendidikan Jepang, Kyoiku Mama, mengajarkan disiplin, pengorbanan, kerja sama dan kesederhanaan di rumah, sehingga di sekolah, yang mengajarkan hal-hal akademis, tidak direpotkan lagi dengan masalah-masalah perilaku anak didik karena nilai-nilai luhur telah melebur dalam karakter setiap siswa sejak dari rumah.
Para ibu di Jepang ini memiliki gelar kesarjanaan yang mentereng, walaupun mereka ‘hanya’ bertugas mengurusi rumah. Mereka beranggapan bahwa pendidikan yang mereka tempuh selama ini tidak sia-sia yakni untuk memperjuangkan pendidikan anak-anak mereka ketimbang mengejar karir dan cita-cita. Jika mereka ditanya, “Mengapa berhenti bekerja. Apakah tidak sayang pendidikannya yang tinggi tidak dipakai?” gantian mereka bertanya, “Apakah di rumah itu tidak memerlukan pendidikan yang tinggi?”. Mereka lebih suka banyak tinggal di rumah untuk membuat makan siang, mencuci dan menyetrika seragam sekolah dan terus menerus memotivasi anak-anaknya untuk bekerja keras meningkatkan prestasi akademis mereka. Dan mereka lebih senang disebut sebagai wanita yang sukses dalam mencetak anak-anaknya yang berhasil, dan bukan karier mereka. Terbukti sistem ini sungguh berhasil dalam meningkatkan laju kemakmuran Jepang. Rata-rata mereka lulusan S1/S2. Mereka sekolah tinggi bukan untuk berkarier tapi “mendidik anak” itulah karier mereka yang tertinggi. Tak heran jika anak-anak di Jepang, pria dan wanita, sangat sayang dan mengagumi ibu-ibunya.
Di Indonesia, kebanyakan para perempuannya merasa sayang jika pendidikan tinggi mereka hanya berakhir di pekerjaan rumah tangga. Akibatnya anak Indonesia dari golongan ibu berpendidikan malah berada dalam haribaan para pembantu rumah tangga dan babysitter. Karena kedua orang tuanya bekerja, anak-anak mereka diasuh dan dididik oleh pembantunya. Memang anak-anak itu bisa menyelesaikan pendidikan yang setinggi-tingginya dan mendapat dukungan finansial yang kuat. Tetapi ada satu hal yang berbeda yaitu: pola pikir dan jiwa mereka bukan duplikasi dari orang tuanya mereka , tetapi duplikasi dari pembantunya.
Padahal R. A. Kartini dalam salah satu suratnya juga berpendapat bahwa anak-anak perempuan perlu mendapat pendidikan adalah agar perempuan itu lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan oleh alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu-pendidik manusia yang pertama-tama. (4 Oktober 1902 Kepada Tn. Anton dan Nyonya. Habis Gelap Terbitlah Terang terjemahan Armijn Pane. PN Balai Pustaka 1985).
-perkembangan dan masa depan anak-anak berada di tangan ibu yang berkualitas-
Sumber: Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar