Rabu, 30 Juli 2014

Macan dan Universitas Terbuka

Macan dan Universitas Terbuka

Inovasi Pendidikan Tinggi Jarak Jauh untuk Indonesia Berprestasi


http://www.ut.ac.id/

“Suatu pagi, dari Gunung Merapi turunlah seekor macan dan masuk ke kampus yang bercat biru. Waktu itu belum ada dosen dan mahasiswa yang nampak di jalanan. Si macan langsung menyusup ke laboratorium. Di dalamnya kebetulan John John, seorang dosen yang mengajar ekologi, sejak subuh sudah asyik meneliti tabung-tabung beracun. Waktu ia melihat macan itu mendekat….”

“Terjadi perkelahian?” tanya cukong.

“Tidak,” jawab si rekan. “Ini film intelektual. Jadi antara si macan dan John John terjadi diskusi. Yaitu tentang perataan pendapatan. Dan last but not least, tentang pendidikan universitas karena macan itu sebetulnya ingin jadi mahasiswa Gadjah Mada. Ia ingin belajar ekonomi, filsafat, ekologi, hukum tata negara, psikologi sosial, statistisk, kebatinan. Tapi John John meyakinkannya bahwa itu mustahil. Harus pilih fakultas, lalu jurusan, karena ilmu di sekolah tinggi tak bisa dicari seperti makanan di hutan belukar. Di universitas, ilmu telah jadi makanan kalengan dan rasanya seperti jamu sariawan, apalagi jika dosennya payah.”

“Lalu?”

“Macan itu mengurungkan niat: Goodbye, John John. Ia kembali ke Merapi berburu ilmu dari hidup. John John terharu karena memang begitulah sebaiknya anak muda: tak suka memuja sekolah tinggi, yang mahal tapi isinya pas-pasan.”

“Apa mau Robert Redford jadi John John?” tanya cukong.

“Lho, dia jadi macan,” jawab si rekan.

ilustrasi (sumber: internet)
Kutipan tersebut merupakan sebagian dari esai Goenawan Mohamad berjudul Macanku di Kampus biru, dalam Catatan Pinggir yang pertama kali di muat dalam Majalah Tempo pada tahun 1977. Tulisan ini sangat berkesan dalam  hidup saya dan menurut saya masih relevan hingga saat ini. Tulisan ini hadir di tengah-tengah kegelisahan saya dalam mencari pendidikan yang dapat memuaskan kebutuhan mencari ilmu dan mengembangkan kapasitas intelektual di tengah keterbatasan. Kesibukan saya sebagai pegawai negeri sipil (PNS), yang juga pasti dialami banyak orang dengan beragam profesi, menuntut saya mencari alternatif lain dalam upaya menempuh pendidikan tinggi dengan tidak mengganggu kewajiban dalam profesi.

Delapan tahun lalu, Kegelisahan "intelektual" saya mendapat jawaban ketika bulik saya menyodorkan brosur Universitas Terbuka (UT) dan memperkenalkan saya dengan konsep pendidikan secara mandiri. Saya tertantang untuk mencoba mendidik diri sendiri dan hal kemandirian dan tanggung jawab meningkatkan kualitas diri.

Mengutip pendapat seorang tokoh pendidikan, Prof. Dr. H. Munir Mulkhan, S.U. dalam suatu wawancara di tahun 1996, bahwa persoalan besar yang perlu dikembangkan dalam dunia pendidikan di Indonesia ialah bagaimana pemerintah mengembangkan program sehingga bisa membuat peserta didik dan masyarakat menyadari bahwa belajar adalah tanggung jawab mereka sendiri, bukan tanggung jawab guru dan pendidik serta pemerintah.

saya sependapat dengan profesor yang namanya kini masuk dalam bursa calon menteri Pendidikan dan Kebudayaan versi Kabinet Usulan Rakyat (KAUR) ini. Belajar adalah tanggung jawab peserta didik sendiri dan program UT yang menawarkan konsep pendidikan jarak jauh sangat sesuai dalam membentuk kemandirian peserta didik dan bertanggung jawab kepada diri sendiri.

Universitas Terbuka sebagai lembaga pendidikan tinggi negeri yang dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan keperdulian pemerintah secara lebih luas dan merata dalam upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tap MPR No.IV/MPR/1970 jo. Tap No.IV/MPR/1978 tentang GBHN yang menetapkan prinsip-prinsip pembangunan nasional menyebutkan bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan didalam keluarga (rumah tangga), sekolah dan masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. (BAB IV GBHN bagian pendidikan).

Konsep pendidikan jarak jauh yang dirintis UT juga sangat sesuai dengan penegasan konsepsi pendidikan seumur hidup ini, sebagaimana tertuang dalam pasal 1 dan 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 13, yang berbunyi: (1) Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya; (2)  Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh.

Anak dan modul UT (dok. pribadi)
Menurut saya, hakikat pendidikan seumur hidup dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air haruslah dilakukan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi. Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang dilahirkan oleh benih generasi yang cerdas pula. Hal ini menuntut peran mulai dari lingkup keluarga, di mana orang tua berperan memotivasi sekaligus menjadi sekolah pertama bagi anak. Orang tua harus memberikan teladan bagi anak-anak dalam menuntut ilmu.

Maka saya tertarik dengan sebuah penggalan surat Kartini kepada Prof. Anton dan Istri, bertanggal 4 Oktober 1902. Kartini menulis, “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi, karena kami yakin pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”

Selanjutnya kartini berpendapat: Dari perempuan lah pertama-tama manusia itu menerima didikannya, di haribaannya lah anak itu belajar merasa dan berpikir, berkata-kata: dan makin lama makin tahulah saya bahwa didikan yang mula-mula itu bukan tidak besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia di kemudian harinya. Dan betapakah ibu Bumiputra itu sanggup mendidik anaknya bila mereka itu sendiri tiada berpendidikan? (Habis Gelap Terbitlah Terang, hal.66).

Khalifah Ali bin Abi Thalib juga pernah berkata: didiklah anakmu sesuai dengan zamannya. Sungguh ia akan menghadapi zaman yang berbeda dengan zamanmu.

Dengan motivasi bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan dengan tujuan memberikan pendidikan anak dengan membangun karakter belajar seumur hidup inilah saya memulai dari diri sendiri. Dari kegagalan menyelesaikan kuliah sebelumnya, yang menyebabkan saya harus puas mendaftar menjadi PNS hanya dengan ijazah SMA, saya menemukan sisi-sisi lain dalam hidup ini yang terangkum dalam satu pertanyaan: di zaman kemerdekaan ini, di mana pendidikan tidak lagi dibatasi, haruskah kita membatasi diri sendiri untuk meraih pendidikan tinggi?

Hambatan dan tantangan

Ternyata bertanggung jawab kepada diri sendiri, menurut saya tidaklah mudah. Setelah saya memilih jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di UT, baru tujuh tahun kemudian saya meraih gelar strata satu dengan gelar sarjana administrasi publik (S.A.P). Masa tempuh kuliah ini sudah termasuk beberapa kali cuti kuliah dalam beberapa semester terpisah, disebabkan ketiadaan biaya dan keterlambatan melakukan heregistrasi karena ketidakdisiplinan dalam memantau jadwal akademik.

Bukannya mudah menempuh pilihan "mandiri" dalam sistem pendidikan jarak jauh ini. Sebagai contoh, saya masih meninggalkan nilai D untuk mata kuliah Perkoperasian dalam ijazah meski saya telah menempuhnya sebanyak tiga kali. Berbeda dengan pendidikan strata satu yang saya pernah tempuh sebelumnya (dan gagal) di universitas lain, baik yang berstatus negeri atau swasta,  istilah mengulang mata kuliah di UT adalah mengambil mata kuliah yang sama pada semester berikutnya. UT menerapkan standar yang berbeda dari yang pernah saya alami sebelumnya dalam standar penjaminan penguasaan materi peserta didik pada suatu mata kuliah. Di UT, tidak ada istilah semester pendek atau ujian ulang. sehingga ketidaklulusan atau perolehan nilai yang tidak memuaskan berakibat bertambahnya masa tempuh pendidikan mahasiswa.

Juga, bukan hal yang mudah dalam mendisiplinkan diri untuk membaca secara mandiri buku-buku materi pokok yang relatif tebal dan menelaah isinya secara mandiri. Namun perjuangan tersebut menjadikan hasil pendidikan tidak hanya seperti makanan kalengan atau mie instan. Ada nilai tambah yag diraih lulusan UT di samping ilmu yang didapat, yaitu karakter mandiri dan bertanggung jawab yang berguna dalam bersaing dalam dunia kerja dan untuk sekaligus mengembangkan keilmuannya.
Tampilan website www.ut.ac.id
Dalam praktek menempuh pendidikan hingga tamat yang saya lakukan murni secara mandiri, saya sangat mengandalkan akses internet untuk selalu terhubung dengan website UT di ww.ut.ac.id. Website ini merupakan inovasi yang sangat membantu mahasiswa sebagai alternatif pelayanan langsung. Banyak aktivitas strategis yang dapat saya lakukan sebagai mahasiswa UT melalui website ini. Mulai dari memantau jadwal akademik, pembelian bahan ajar, melihat hasil ujian, melakukan pengaduan, atau sekedar permohonan informasi. Semua hal tersebut sangat membantu saya dalam menyelesaikan studi hingga meraih gelar sarjana.

Contoh aplikasi nilai ujian (dok. pribadi)
Kini, kuliah mandiri dalam pendidikan jarak jauh itu sendiri adalah suatu pilihan. Melalui berbagai inovasi yang dilakukan secara terus-menerus, UT telah menawarkan banyak kuliah tatap muka dalam berbagai mata kuliah untuk memberikan kemudahan kepada mahasiswa. Tutorial online pun semakin banyak disediakan oleh UT. Bahkan beberapa program pascasarjana yang telah dikembangkan UT dilakukan online secara keseluruhan.
Pilihan jurusan di UT (sumber: facebook.com, akun resmi UT)
Tantangan untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri dalam pendidikan, saya jawab dengan mendaftar kembali di UT dengan mengambil program studi sastra Inggris bidang minat penerjemahan sekaligus mempersiapkan diri melanjutkan ke program pascasarjana Administrasi Publik di universitas yang sama. Inilah pilihan hidup saya dalam mengimplementasikan pendidikan seumur hidup: satu buku selesai, berlanjut ke buku yang lain. Demikian seterusnya, hingga hayat masih di kandung badan. Tentu tujuan pendidikan sebenarnya bukanlah untuk mengejar ijazah, gelar akademik, atau kenaikan pangkat, apalagi status sosial. Mencari ilnu haruslah bukan sekedar tuntutan dalam pekerjaan, melainkah merupakan suatu kebutuhan dalam hidup, minal mahdi ilal lahdi (dari buaian hingga ke liang kubur). 
Rombongan mahasiswa UT seusai mengikuti prosesi wisuda (dok. pribadi)
Universitas Terbuka, sesuai namanya, merupakan suatu habitat akademik terbuka yang dapat ditempati para pencari ilmu secara luas yang ingin selalu meningkatkan keilmuannya. Sistem pendidikan di UT jauh menembus sekat-sekat dalam sistem pendidikan "konvensional". Dengan beragam inovasi yang terus menerus, didukung sarana dan prasarana yang memadai dan tersebar di seluruh Indonesia hingga mancanegara, Universitas Terbuka semakin memantapkan diri dalam melaksanakan pendidikan tinggi jarak jauh untuk Indonesia berprestasi.

Di usianya yang kini mencapai 30 tahun, Universitas Terbuka menawarkan banyak pilihan yang bebas kita pilih. Siapapun boleh pemegang ijazah SLTA dapat mendaftar tanpa dibatasi umur. UT menawarkan pendidikan alternatif yang fleksibel bagi mereka yang memiliki keterbatasan waktu, biaya, dan jarak.

Keterbatasan menempuh pendidikan tinggi tersebut bukanlah suatu alasan untuk mengembangkan diri. Siapapun dapat meningkatkan kualitas dirinya. Siapapun dapat menjadi macan yang bebas berkeliaran di universitas terbuka.


"Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari Universitas Terbuka dalam rangka memperingati HUT Universitas Terbuka ke-30. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan.“

Tidak ada komentar:

Posting Komentar